Diberdayakan oleh Blogger.

Selasa, 16 Oktober 2012

Orang kalau sedang marah katanya darahnya lagi naik ke ubun-ubun, kepalanya sedang panas, emosinya tinggi, dan lain-lain. Ketika seseorang marah, ia butuh sesuatu untuk menurunkan emosinya, mendinginkan kepalanya, dan menurunkan tekanan darahnya. Orang yang sedang dalam kondisi high voltase layaknya ingin mendapat perhatian. Betapa orang yang marah itu terlihat ‘aneh’ di mata orang lain, khususnya yang berada di sekitarnya. Wa bil khusus lagi orang yang jarang atau tidak pernah melihat seseorang marah dan suatu saat melihatnya marah. Pasti berkesan.



“Hei, awas hati-hati, jangan dekat-dekat dia, nanti kamu kena semprot!” ujar seseorang. Ternyata orang marah juga dapat menyemprotkan omelan, kata-kata, yang umumnya kasar, jelek, dan tentu bernada tinggi. Alangkah indahnya ketika orang marah lebih memilih diam. Mungkin di situ lah makna diam adalah emas ia dapatkan. Bukan orang lain yang melihat diam adalah emas, tetapi orang yang marah kemudian memilih diam itu yang sedang menggali ladang emas. Kenapa bisa seperti itu? Tentu semuanya jadi jelas ketika seseorang pandai menahan diri, termasuk menahan amarahnya sendiri. Walau bagaimanapun, musuh terkuat seseorang di dunia ini tidak lain adalah nafsu, keinginan, ego, dll dalam diri.

Kalau sedang marah itu duduk, kalau masih marah tiduran, kalau masih marah ambil wudhu, kalau masih marah lagi sholat. Dan jangan lupa, istighfar. Cara-cara tersebut terbukti efektif bagi beberapa orang apalagi jika ditambah dengan melantunkan beberapa ayat kitab suci Al Quran. Meski bisa meredakan, namun keikhlasan tiap orang berbeda-beda. Seseorang bisa saja ikhlas melepas amarahnya dengan cara diam, tetapi itu pun relatif. Seberapa lama dia bisa diam, seperti apa cara dia diam, dll. Oleh karena itu, sepandai-pandainya seseorang menyimpan amarahnya, tetap harus dikeluarkan. Yang namanya energi berlebih dalam diri ya harus dikeluarkan, kalau tidak bisa kacau jadinya. Sebagian orang memilih untuk beraktivitas lain yang mampu mengalihkan amarahnya, meng-convert-nya menjadi sesuatu yang lebih berguna. Sebagian yang lain lebih senang memilih curhat dengan orang lain yang mampu mengerti permasalahannya dengan bijak, bukan untuk mengompori atau memanasinya lagi. Sebagian yang lain yang ekstrem memilih untuk menghentikan aliran energi tersebut, karena sudah tidak kuat mungkin (baca: bunuh diri à jangan dicontoh). 

Wow, hebat sekali. Macam-macam latar belakang orang marah dan macam-macam pula orang menyikapinya. Kemarahan yang didasarkan akan kebenaran tentu lebih baik dan bijak dibandingkan kemarahan yang terlontar tanpa sebab yang benar. Semoga di setiap kemarahan apa pun yang pernah kita lakukan atau kita dapatkan senantiasa ada pelajaran berharga untuk hidup kita, amin.

A : Anggone
N : Nesu
G : Gek
E : (E)ndang
R : Rampung

Maksa :D


-Widyanto-

3 komentar:

  1. bahaha... bagus an! Yap yap, mesti memanajemen amarah ini :D

    BalasHapus
  2. wahaha, maturnuwun lho om, iya lah, kita ini manajer buat diri sendiri :p

    BalasHapus

Komentar dipersilahkan