Diberdayakan oleh Blogger.

Minggu, 05 Agustus 2012


Ini adalah artikel ketiga tentang perjalanan saya ke Dili. Kali ini saya ingin cerita seputar kewajiban saya sebagai umat Islam laki-laki yang mesti dilaksanakan seminggu sekali, iya, Jumatan. Ibadah jumat di Timor Leste tidak semudah di Indonesia. Hanya ada satu masjid besar yang sering dipakai oleh umat Islam Timor Leste, namanya masjid An Nuur. Masjid ini terletak di daerah Kampung Alor, yaitu kampung muslim di Timor Leste, dekat dengan area pantai Kelapa. Sebenarnya di pelosok daerah lainnya juga sedang dibangun beberapa masjid, mengingat sedikitnya masjid di sana sehingga untuk memudahkan umat yang ada di pelosok agar tidak jauh-jauh datang ke Kampung Alor maka dibangunlah masjid lainnya. Masjid An Nuur sedang direnovasi saat itu. Tetapi, sedang tidak direnovasi pun saya bisa membayangkan rupa sebelumnya. Masjidnya tampak seperti masjid lama, dan (maaf) beberapa spot terlihat agak kumuh. Di sekeliling masjid adalah area pesantren yang sama keadaannya. Menjelang sholat Jumat anak-anak masih belajar mengaji bersama pak ustadz di beberapa ruangan di samping masjid. Fasilitas kamar mandi dan tempat wudhu juga memprihatinkan. Akan tetapi di bagian dalam masjid sungguh berbeda. Ada sebuah taman di dalam masjid yang semakin memberi kesan hijau dan segar di tengah panasnya udara Timor Leste. Bagian mimbar dan ruang utama masjid sudah mulai direnovasi dan tampak lebih bersih dibandingkan bagian luarnya. 

diresmikan 1981 sewaktu masih bareng dengan Indonesia
bagian dalam ruang utama, tampak mimbar warna putih


taman di dalam masjid

Padahal, masjid ini banyak didatangi oleh warga negara lain, seperti: Indonesia, Malaysia, Pakistan, dll yang bekerja untuk PBB. Oleh karena itu, tidak heran meski penampakannya seperti masjid di kampung (memang di Kampung Alor ya, hehe), tetapi jamaahnya adalah internasional punya lho. Banyak mobil putih (mobil pemerintah dan PBB) dan bule-bule yang berdatangan menjelang sholat Jumat. Kurang lebih pukul 12.30 Waktu Timor Leste Sholat dimulai. Bahasa yang digunakan sama, bahasa Indonesia.

Tema khutbah Jumat waktu itu adalah meningkatkan keyakinan diri dan berdakwah sebagai umat minoritas. Ya, beda sekali dengan di Jawa ini. Masjid-masjid banyak ditemui sehingga sholat pun tidak terlalu susah untuk dilakukan. Tetapi di sini berlainan. Bahkan (menyambung artikel sebelumnya), ketika memberikan training di laboratorium nasional, kami melaksanakan sholat di dalam ruangan training. Jadi, rasanya nyaman mendengar khutbah Jumat yang disampaikan oleh pak Kyai yang sudah lanjut usia waktu itu. Tiba di akhir khutbah, sholat Jumat pun didirikan. Semua jamaah berdiri, di samping saya ada bule entah dari negara mana. Yang saya ingat, tinggi badan saya hanya sampai bahunya saja. Haha.

Selesai sholat, DKM masjid An Nuur meminta kesediaan jamaah untuk melaksanakan sholat ghoib untuk saudara seiman yang meninggal di Sulawesi. Kami pun berdiri semua. Ada satu orang Arab yang masih melaksanakan sholat sunnah ketika kami sudah berdiri siap melaksanakan sholat ghaib. Selesai melaksanakan sholat sunnah, orang Arab itu segera menyambung untuk melakukan sholat ghaib di tempat yang sama. Selesai melaksanakan sholat ghaib tiba-tiba dia memanggil saya, dan bertanya: 

F: “Brother, Do you speak English?”.
S: “Yes, why sir?”.
F: “What is the name of the sholat we had done before?”
S: “Oh, it’s Sholatul Ghaib sir. Are you surprised?”. 
F: “Yes, I thought we did sholat janazah, but there was no janazah there. How could it be?”
S: “excuse me sir, what’s your name?”
F: “My name’s is Faruq, I’m a doctor (medical). Now, I work for UN here. I come from Pakistan. And you?
S: “My name’s Anto. I have a training here, with WHO. So, Sholatul Ghaib is common here. We pray for a janazah that may be we don’t know yet. We pray for her/him because we are brothers.”
F: ”Oh, I see. Ok, and what was the language that was used for khutbah?”
S: “It was Indonesian Sir. How long you’ve been here?”
F: “I’ve just spent three days here now. This is my first time to go here. And, I’m so surprised!” (smiling).
S: “Ya, so do I. This is my 5th day here.”
F: “Okey brother, my friends are waiting for me. Thank you so much for this chat.”
S: “Ok, nice to meet you brother.

Kami pun bersalaman erat dan berpisah. Jujur saya senang dipanggil ‘saudara’ olehnya, meski baru pertama kali bertemu. Memang sejatinya semua umat Islam di dunia adalah bersaudara karena keyakinan yang sama, meski memiliki darah yang berbeda.

Begitu cerita singkat Jumatan di Timor Leste, satu cerita lagi sebagai cerita akhir Bulan Juni di Kota Dili insya Allah menyusul ya, hehe.

-Widyanto-
Categories: , , ,

3 komentar:

  1. Kami membuat Lampu Kristal Untuk Seribu Tempat Ibadah, bisa dilihat disini http://sensatiocraft.blogspot.com/search/label/charity

    BalasHapus
  2. Wah,cerita yang menarik. Terima kasih Mas, sudah berbagi. :)

    Saya mengenal kampung Alor dan masjidnya saat mencari referensi untuk tulisan saya.
    Pengen suatu hari datang ke sana :)

    Salam

    BalasHapus
  3. Sama2 mba Shabrina. Thanks sudah follow, saya follback ya, hehe.
    waw, mba ternyata penulis ya? saya lihat di blognya banyak sekali bukunya. Jadi menginspirasi lho.
    Coba mba, datang deh ke kampung Alor, lautnya bagus.

    salam

    BalasHapus

Komentar dipersilahkan