Diberdayakan oleh Blogger.

Kamis, 19 Januari 2012


...
Selama setengah jam Mortenson menunggu dengan gelisah sementara Sakina menyeduh paiyu cha. Haji Ali menyusurkan jemari di sepanjang ayat-ayat Al Quran yang paling dia hargai di atas semua miliknya, membuka-buka halaman secara acak dan dengan nyaris tak bersuara menggumamkan doa-doa bahasa Arab sementara dia menatap tak berkedip ke satu arah.

Ketika mangkuk-mangkuk berisi teh mentega mendidih sudah ada di tangan masing-masing, Haji Ali berkata, “Kalau kau ingin berhasil di Baltistan, kau harus menghargai cara-cara kami,” ujar Haji Ali, meniup-niup mangkuknya. “Kali pertama kau minum teh bersama seorang Balti, kau masih orang asing. Kedua kalinya kau minum teh, kau adalah tamu yang dihormati. Kali ketiga kau berbagi semangkuk teh, kau sudah menjadi keluarga, dan untuk keluarga kami, kami bersedia untuk melakukan apa saja, bahkan untuk mati sekalipun.” Haji Ali meletakkan tangannya dengan sikap hangat di atas tangan Mortenson. “Dokter Greg, kau harus memberi waktu untuk berbagi tiga cangkir teh. Mungkin kami memang tidak berpendidikan. Tetapi kami tidak bodoh. Kami telah hidup dan bertahan di sini untuk waktu yang sangat lama.”

“Hari itu Haji Ali memberikan pelajaran terpenting yang pernah kudapat, seumur hidupku,” kata Mortenson. “Kita orang Amerika, selalu berpikir harus menyelesaikan segala sesuatu secepat mungkin. Kita adalah negara dengan menu makan siang tiga puluh menit dan dua menit latihan football. Para pemimpin kita mengira bahwa strategi kampanye shock and wave (kejutkan dan bikin terperangah) mereka dapat mengakhiri perang di Irak bahkan sebelum perang dimulai. Haji Ali mengajariku untuk berbagi tiga cangkir teh, untuk bergerak lebih perlahan, menjadikan membangun persahabatan sama pentingnya dengan membangun proyek. Diajarinya aku bahwa ada lebih banyak hal yang bisa kupelajari dari masyarakat yang bekerja bersamaku, dibandingkan dengan apa yang bisa kuajarkan pada mereka.”
...

Setelah gelap, dalam cahaya api yang menari-nari di balti miliknya, Haji Ali menggamit Mortenson agar duduk di sisinya. Dia mengambil Al Qurannya yang sudah lusuh serta dipenuhi noda lemak, dan memegangnya di atas cahaya api.

“Kau lihat betapa indahnya Al Quran ini?” tanya Haji Ali.

“Ya.”

“Aku tak bisa membacanya,” ujar Haji Ali. “Aku tak bisa membaca apapun. Inilah kesedihan terbesar dalam hidupku. Aku akan melakukan apa saja agar anak-anak di desaku tak perlu merasakan kesedihan yang sama. Akan kubayar berapa pun supaya mereka bisa mendapatkan pendidikan yang menjadi hak mereka.”

“Duduk di situ, di sampingnya,” cerita Mortenson. “Aku tersadar bahwa semuanya, semua kesulitan yang telah kualami, sejak saat aku berjanji untuk membangun sekolah itu, dan sepanjang perjuangan panjang untuk menyelesaikannya, sama sekali tak berarti dibandingkan dengan pengorbanan yang siap diberikan Haji Ali untuk warganya. Dia seorang buta huruf, yang hampir-hampir tak pernah meninggalkan kampungnya di Karakoram,” kata Mortenson. “Namun, dia adalah sosok paling bijaksana yang pernah kutemui.”

 dikutip dari: Three Cups of Tea karya Greg Mortenson dan David Oliver Relin. Penguin Books. 2007.

-Widyanto-
Categories: , ,

5 komentar:

  1. apik yo mas ceritanya,,inspiratif banget..^_^

    BalasHapus
  2. ini hasil ane repost,,inspiratif dan semoga bermanfaat

    http://rizkipradana.blogspot.com/2012/02/secuil-kisah-dahsyat-dari-kunjungan.html

    BalasHapus
  3. ho oh phe. btw kalo tidak salah ada pro kontra-nya ini novel. ada yang menganggap adanya unsur kebohongan di dalamnya. Allahu a'lam, tapi inspiratif memang.

    BalasHapus
  4. iya mas inspirasi untuk bisa mendaki pegunungan Himalaya,hehe...:P

    BalasHapus
  5. wah, kalo aku nyerah ndaki gunungnya. hehe
    inspirasi memerangi terornya itu..

    BalasHapus

Komentar dipersilahkan