Waktu hendak berangkat sholat jumat kemarin, saya lewat
jalan yang biasa saya lewati menuju masjid kampus. Suasana agak mendung siang
itu. Dalam perjalanan, saya melihat tiga orang anak kecil yang masing-masing
memanggul karung. Entah apa isinya, tetapi saya menduga semacam barang-barang
bekas seperti kertas dan lainnya. Sembari mengobrol, mereka berjalan dengan
langkah kecil mereka yang tidak bisa mendahului langkah besar dua orang
mahasiswa di depannya. Seorang bapak juga berjalan di track yang sama saat itu. Meski langkahnya besar, bapak itu tetap
berada di belakang ketiga anak tersebut, seperti tidak ingin mendahului mereka. Sementara
itu, saya sibuk mengambil gambar di belakang mereka, sampai akhirnya saya
bergegas untuk mempercepat langkah mendahului mereka semua. Saya hanya melirik
dan langsung berjalan cepat menuju masjid. Yang teringat di pikiran saya sampai
sekarang adalah Jumat saat itu mendung.
...
Benar saja, selesai ibadah Jumat, saya terpaksa berteduh
selama beberapa menit di koridor masjid, karena hujan mulai turun cukup deras. Hujan
menghapus panas di bumi, sekaligus ingatan saya bahwa saya sudah mengambil
beberapa gambar tadi sebelum sampai di masjid.
...
Saat itu saya sempat berpikir, mungkin anak-anak itu berkata
dalam hati, “Kapan ya saya bisa kuliah seperti kakak-kakak itu?”. Mereka asyik
mengobrol sambil memanggul karung-karung tersebut. Saya yakin, mereka pasti
punya harapan atau cita-cita yang sangat ingin mereka capai. Saya tidak
menganggap bahwa cita-cita harus selalu terkait profesi. Saya lebih suka
menganggap cita-cita sebagai hal-hal yang ingin dimiliki, dijumpai, dicapai. Anak-anak
itu, begitu juga anak-anak lain yang seperti mereka, lebih memiliki pengalaman
hidup yang berarti dibandingkan saya dan mungkin para mahasiswa, orang tua,
pegawai, dosen, dan yang lainnya. Mungkin ketika sudah besar nanti, mereka
lebih dapat memaknai keras lunaknya hidup. Meski belum tentu mereka akan
memilih untuk kuliah di perguruan tinggi, mereka sudah mengambil “mata kuliah
kehidupan” sebelumnya.
-Widyanto-
ahhh . .sok ngerti sampean.
BalasHapuspadahal bocah kui ngomong "opo sih kae mas2 moto2 sko mburi terus, wiz berasa artis wae cah difoto karo paparazzi"
:D
asem. :p
BalasHapusjangankan mikir kuliah,,belum tentu juga mereka mikir sekolah..:(
BalasHapusbiasanya, anak2 yang suka jualan donat di kampus dulu waktu aku tanyain, mereka sekolah lho, selesai sekolah mereka jualan.
BalasHapuswajib belajar 9 tahun ya? SD aja banyak yg gratis.
begitu dekatnya mereka berinteraksi dengan dunia kampus,, moga-moga beneran pada masuk kampus, kuliah. :)
jadi ingat juga anak kecil yang sering minta2 di dekat ATM center.
BalasHapusmasih berseragam sekolah sambil membawa "perlengkapan" mereka berupa plastik transparan yang berisi map entah isinya apa.
pernah saya tanya
Q : "nggak sekolah dek?"
A : "sudah pulang kak"
Q : "kok cepet banget, sekolah dimana emang?"
A : "di SD ****, cuma sampai jam 10 kok kak sekolahnya"
Q : "trus ibunya mana?"
A : *menunjuk wanita paruh baya yang tengah duduk di bawah pohon*
mereka sekolah, namun masa kanak-kanak mereka terenggut karena keadaan ekonomi yang memaksa demikian.
begitu kuatnya mental mereka, masih kecil, masih sekolah tapi sudah disuruh untuk mencari uang.
sedangkan kita?
nah itu, seharusnya anak2 diarahkan yang bener supaya nyampe ke cita2nya. salah satunya lewat pendidikan, terutama pendidikan langsung dari ortu. Lha kalo ortunya udah ngajarin minta2, ya begitu jadinya.
BalasHapus