...
Selama setengah jam Mortenson menunggu dengan gelisah
sementara Sakina menyeduh paiyu cha. Haji Ali menyusurkan jemari di sepanjang
ayat-ayat Al Quran yang paling dia hargai di atas semua miliknya, membuka-buka
halaman secara acak dan dengan nyaris tak bersuara menggumamkan doa-doa bahasa
Arab sementara dia menatap tak berkedip ke satu arah.
Ketika mangkuk-mangkuk berisi teh mentega mendidih sudah ada
di tangan masing-masing, Haji Ali berkata, “Kalau kau ingin berhasil di
Baltistan, kau harus menghargai cara-cara kami,” ujar Haji Ali, meniup-niup
mangkuknya. “Kali pertama kau minum teh bersama seorang Balti, kau masih orang
asing. Kedua kalinya kau minum teh, kau adalah tamu yang dihormati. Kali ketiga
kau berbagi semangkuk teh, kau sudah menjadi keluarga, dan untuk keluarga kami,
kami bersedia untuk melakukan apa saja, bahkan untuk mati sekalipun.” Haji Ali
meletakkan tangannya dengan sikap hangat di atas tangan Mortenson. “Dokter
Greg, kau harus memberi waktu untuk berbagi tiga cangkir teh. Mungkin kami
memang tidak berpendidikan. Tetapi kami tidak bodoh. Kami telah hidup dan
bertahan di sini untuk waktu yang sangat lama.”
“Hari itu Haji Ali memberikan pelajaran terpenting yang
pernah kudapat, seumur hidupku,” kata Mortenson. “Kita orang Amerika, selalu
berpikir harus menyelesaikan segala sesuatu secepat mungkin. Kita adalah negara
dengan menu makan siang tiga puluh menit dan dua menit latihan football. Para pemimpin
kita mengira bahwa strategi kampanye shock and wave (kejutkan dan bikin
terperangah) mereka dapat mengakhiri perang di Irak bahkan sebelum perang
dimulai. Haji Ali mengajariku untuk berbagi tiga cangkir teh, untuk bergerak
lebih perlahan, menjadikan membangun persahabatan sama pentingnya dengan membangun
proyek. Diajarinya aku bahwa ada lebih banyak hal yang bisa kupelajari dari
masyarakat yang bekerja bersamaku, dibandingkan dengan apa yang bisa kuajarkan
pada mereka.”
...
Setelah gelap, dalam cahaya api yang menari-nari di balti
miliknya, Haji Ali menggamit Mortenson agar duduk di sisinya. Dia mengambil Al
Qurannya yang sudah lusuh serta dipenuhi noda lemak, dan memegangnya di atas
cahaya api.
“Kau lihat betapa indahnya Al Quran ini?” tanya Haji Ali.
“Ya.”
“Aku tak bisa membacanya,” ujar Haji Ali. “Aku tak bisa
membaca apapun. Inilah kesedihan terbesar dalam hidupku. Aku akan melakukan apa
saja agar anak-anak di desaku tak perlu merasakan kesedihan yang sama. Akan kubayar
berapa pun supaya mereka bisa mendapatkan pendidikan yang menjadi hak mereka.”
“Duduk di situ, di sampingnya,” cerita Mortenson. “Aku
tersadar bahwa semuanya, semua kesulitan yang telah kualami, sejak saat aku
berjanji untuk membangun sekolah itu, dan sepanjang perjuangan panjang untuk
menyelesaikannya, sama sekali tak berarti dibandingkan dengan pengorbanan yang
siap diberikan Haji Ali untuk warganya. Dia seorang buta huruf, yang
hampir-hampir tak pernah meninggalkan kampungnya di Karakoram,” kata Mortenson.
“Namun, dia adalah sosok paling bijaksana yang pernah kutemui.”
dikutip dari: Three Cups of Tea karya Greg Mortenson dan David Oliver Relin. Penguin Books. 2007.
-Widyanto-
apik yo mas ceritanya,,inspiratif banget..^_^
BalasHapusini hasil ane repost,,inspiratif dan semoga bermanfaat
BalasHapushttp://rizkipradana.blogspot.com/2012/02/secuil-kisah-dahsyat-dari-kunjungan.html
ho oh phe. btw kalo tidak salah ada pro kontra-nya ini novel. ada yang menganggap adanya unsur kebohongan di dalamnya. Allahu a'lam, tapi inspiratif memang.
BalasHapusiya mas inspirasi untuk bisa mendaki pegunungan Himalaya,hehe...:P
BalasHapuswah, kalo aku nyerah ndaki gunungnya. hehe
BalasHapusinspirasi memerangi terornya itu..