......
Mereka pulang. Zamzami berangkat kerja dan Syalimah tak
memikirkan kejutan itu. Ia bahkan lupa pernah meminta apa dari suaminya. Delapan
belas tahun mereka telah berumah tangga, baru kali ini suaminya akan memberi
kejutan. Semua hal, dalam keluarga mereka yang sederhana, amat gampang diduga. Penghasilan
beberapa ribu rupiah mendulang timah, cukup untuk membeli beras beberapa
kilogram, untuk menyambung hidup beberapa hari. Semuanya dipahami Syalimah di
luar kepala. Tak ada rahasia, tak ada yang tak biasa, dan tak ada harapan yang
muluk-muluk. Tahu-tahu macam bakung berbunga di musim kemarau, suaminya ingin
memberinya kejutan.
Syalimah dan Zamzami berjumpa waktu pengajian ketika mereka
masih remaja. Zamzami yang pemalu, begitu pula Syalimah, menyimpan rasa suka
diam-diam. Zamzami tak pernah berani mengatakan maksud hatinya, dan Syalimah
takut menempatkan diri pada satu keadaan sehingga lelaki lugu itu dapat
mendekatinya.
Namun, lirikan curi-curi di tengah keramaian itu kian hari
kian tak tertahankan. Zamzami mengurangi kecepatannya menambah juz mengaji,
padahal ia membaca Alquran lebih baik dari ia membaca huruf latin. Tujuannya agar
makin lama dapat berada di dalam kelas yang sama dengan Syalimah. Berulang kali
ditanyakannya kepada ustaz hal-hal yang ia sudah tahu. Dibentak bebal, ia
tersenyum sambil menunduk. Adapun Syalimah, berpura-pura bodoh membaca tajwid,
dimarahi ustaz, biarlah. Maksudnya serupa dengan Zamzami. Semua taktik yang
merugikan diri sendiri itu, jika boleh disebut dengan satu kata, itulah cinta.
......
Disadur dari: Novel Pertama Dwilogi Padang Bulan, Andrea
Hirata. 2010.
-Widyanto-