Ini adalah artikel ketiga tentang perjalanan saya ke Dili. Kali ini saya
ingin cerita seputar kewajiban saya sebagai umat Islam laki-laki yang mesti
dilaksanakan seminggu sekali, iya, Jumatan. Ibadah jumat di Timor Leste tidak
semudah di Indonesia. Hanya ada satu masjid besar yang sering dipakai oleh umat
Islam Timor Leste, namanya masjid An
Nuur. Masjid ini terletak di daerah Kampung
Alor, yaitu kampung muslim di Timor Leste, dekat dengan area pantai Kelapa. Sebenarnya di pelosok
daerah lainnya juga sedang dibangun beberapa masjid, mengingat sedikitnya
masjid di sana sehingga untuk memudahkan umat yang ada di pelosok agar tidak
jauh-jauh datang ke Kampung Alor maka dibangunlah masjid lainnya. Masjid An
Nuur sedang direnovasi saat itu. Tetapi, sedang tidak direnovasi pun saya bisa
membayangkan rupa sebelumnya. Masjidnya tampak seperti masjid lama, dan (maaf) beberapa spot terlihat agak kumuh.
Di sekeliling masjid adalah area pesantren yang sama keadaannya. Menjelang sholat
Jumat anak-anak masih belajar mengaji bersama pak ustadz di beberapa ruangan di
samping masjid. Fasilitas kamar mandi dan tempat wudhu juga memprihatinkan. Akan
tetapi di bagian dalam masjid sungguh berbeda. Ada sebuah taman di dalam masjid
yang semakin memberi kesan hijau dan segar di tengah panasnya udara Timor
Leste. Bagian mimbar dan ruang utama masjid sudah mulai direnovasi dan tampak
lebih bersih dibandingkan bagian luarnya.
diresmikan 1981 sewaktu masih bareng dengan Indonesia |
bagian dalam ruang utama, tampak mimbar warna putih |
taman di dalam masjid |
Padahal, masjid ini banyak didatangi oleh warga negara lain, seperti:
Indonesia, Malaysia, Pakistan, dll yang bekerja untuk PBB. Oleh karena itu, tidak heran meski penampakannya seperti
masjid di kampung (memang di Kampung Alor ya, hehe), tetapi jamaahnya adalah
internasional punya lho. Banyak mobil putih (mobil pemerintah dan PBB) dan
bule-bule yang berdatangan menjelang sholat Jumat. Kurang lebih pukul 12.30
Waktu Timor Leste Sholat dimulai. Bahasa yang digunakan sama, bahasa Indonesia.
Tema khutbah Jumat waktu itu adalah meningkatkan keyakinan diri dan
berdakwah sebagai umat minoritas. Ya, beda sekali dengan di Jawa ini. Masjid-masjid
banyak ditemui sehingga sholat pun tidak terlalu susah untuk dilakukan. Tetapi di
sini berlainan. Bahkan (menyambung artikel sebelumnya), ketika memberikan
training di laboratorium nasional, kami melaksanakan sholat di dalam ruangan
training. Jadi, rasanya nyaman mendengar khutbah Jumat yang disampaikan oleh
pak Kyai yang sudah lanjut usia waktu itu. Tiba di akhir khutbah, sholat Jumat
pun didirikan. Semua jamaah berdiri, di samping saya ada bule entah dari negara
mana. Yang saya ingat, tinggi badan saya hanya sampai bahunya saja. Haha.
Selesai sholat, DKM masjid An Nuur meminta kesediaan jamaah untuk
melaksanakan sholat ghoib untuk saudara seiman yang meninggal di Sulawesi. Kami
pun berdiri semua. Ada satu orang Arab yang masih melaksanakan sholat sunnah
ketika kami sudah berdiri siap melaksanakan sholat ghaib. Selesai melaksanakan sholat sunnah, orang Arab itu
segera menyambung untuk melakukan sholat ghaib di tempat yang sama. Selesai melaksanakan
sholat ghaib tiba-tiba dia memanggil saya, dan bertanya:
F: “Brother, Do you speak English?”.
S: “Yes, why sir?”.
F: “What is the name of the sholat we
had done before?”
S: “Oh, it’s Sholatul Ghaib sir. Are you
surprised?”.
F: “Yes, I thought we did sholat
janazah, but there was no janazah there. How could it be?”
S: “excuse me sir, what’s your name?”
F: “My name’s is Faruq, I’m a doctor
(medical). Now, I work for UN here. I come from Pakistan. And you?”
S: “My name’s Anto. I have a training
here, with WHO. So, Sholatul Ghaib is common here. We pray for a janazah that
may be we don’t know yet. We pray for her/him because we are brothers.”
F: ”Oh, I see. Ok, and what was the
language that was used for khutbah?”
S: “It was Indonesian Sir. How long
you’ve been here?”
F: “I’ve just spent three days here
now. This is my first time to go here. And, I’m so surprised!” (smiling).
S: “Ya, so do I. This is my 5th day
here.”
F: “Okey brother, my friends are
waiting for me. Thank you so much for this chat.”
S: “Ok, nice to meet you brother.”
Kami pun bersalaman erat dan berpisah. Jujur saya senang dipanggil ‘saudara’ olehnya, meski baru pertama
kali bertemu. Memang sejatinya semua umat Islam di dunia adalah bersaudara
karena keyakinan yang sama, meski memiliki darah yang berbeda.
Begitu cerita singkat Jumatan di Timor Leste, satu cerita lagi sebagai
cerita akhir Bulan Juni di Kota Dili insya Allah menyusul ya, hehe.
-Widyanto-
Kami membuat Lampu Kristal Untuk Seribu Tempat Ibadah, bisa dilihat disini http://sensatiocraft.blogspot.com/search/label/charity
BalasHapusWah,cerita yang menarik. Terima kasih Mas, sudah berbagi. :)
BalasHapusSaya mengenal kampung Alor dan masjidnya saat mencari referensi untuk tulisan saya.
Pengen suatu hari datang ke sana :)
Salam
Sama2 mba Shabrina. Thanks sudah follow, saya follback ya, hehe.
BalasHapuswaw, mba ternyata penulis ya? saya lihat di blognya banyak sekali bukunya. Jadi menginspirasi lho.
Coba mba, datang deh ke kampung Alor, lautnya bagus.
salam