By Republika Newsroom
Jumat, 09 Oktober 2009 pukul 14:36:00
ROTTERDAM--Seorang perempuan berjilbab menggandeng tangan
anak-anaknya. Ia berlalu melewati sebuah toko minuman keras. Ia
melenggang, mengabaikan deretan botol minuman keras yang terlihat
dalam toko. Kakinya, ia langkahkan ke toko daging Muslim, di sebelah
toko minuman itu.
Di seberang jalan, seorang laki-laki muncul dari sebuah toko alat
bantu seks dengan barang-barang yang dibelinya. Ia melangkahkan
kakinya dengan cepat, tanpa menoleh ke sebuah restoran kebab Turki
yang baru saja dibuka untuk makan siang.
Pemandangan itu terlihat di salah satu kota di Belanda, Rotterdam.
Orang konservatif dan liberal, religius dan sekuler, serta orang
Belanda dan asing, semuanya ada di sana. Perbedaan ini harus mampu
dikelola dan terkadang juga menjadi potensi konflik.
Keberagaman semacam itulah yang dihadapi Ahmed Aboutaleb, Wali Kota
Rotterdam, Belanda. Awal tahun lalu, ia yang seorang Muslim kelahiran
Maroko dipercaya memimpin kota itu. Tentu, ia pun dituntut mampu
menjembatani perbedaan budaya dan keyakinan masyarakatnya itu.
Aboutaleb baru sembilan bulan tinggal di Rotterdam. Ia menjadi Muslim
imigran pertama yang memimpin sebuah kota besar di Belanda, seperti
Rotterdam. Seperti diketahui, Rotterdam merupakan kota terbesar kedua
yang ada di Belanda.
Keberhasilan anak seorang imam ini menjadi sebuah kisah klasik
keberhasilan seorang imigran. Aboutaleb memang harus merangkak dari
bawah hingga menduduki jabatan seperti sekarang ini. Saat remaja, ia
tiba di Belanda.
Aboutaleb bekerja keras dan sedikit demi sedikit menaiki tangga
sosialnya. Mulanya, ia menjadi seorang jurnalis. Namun kemudian, ia
mengubah haluan hidupnya, menjadi seorang politikus. Ia bergabung
dengan Partai Buruh di Amsterdam.
Penominasian Aboutaleb, sebagai wali kota Rotterdam oleh pimpinan
partainya, yang dianggap oleh sebagian orang hanya posisi seremonial,
telah membuat sejumlah pengamat merasa terkejut. Apalagi, ia yang
seorang imigran Muslim akhirnya menjadi seorang wali kota.
Apalagi, Rotterdam merupakan sebuah kota di mana imigrasi dan
integrasi menjadi sebuah persoalan. Banyak kalangan menyorot soal
imigran Muslim, yang tak jarang dianggap memicu gesekan dengan warga
masyarakat lainnya.
Pada 2002, misalnya, Pim Fortuyn, seorang populis dan politikus yang
mengecam Islam dan menganggapnya sebagai agama terbelakang, tewas
ditembak oleh seorang berkulit putih yang mengklaim melakukannya untuk
mendukung komunitas Muslim.
Aboutaleb juga dihadapkan pada kemungkinan munculnya gesekan semacam
itu. Ia harus mampu melayani semua orang, tak hanya Muslim yang
tinggal di sana. Di sisi lain, komunitas Muslim tentu berharap ia
mampu memberikan perlindungan bagi mereka.
Aboutaleb harus mampu mengatasi dan menghadapi segala masalah terkait
dengan keberagaman masyarakat selama enam tahun menjabat sebagai wali
kota. Dalam kurun beberapa pekan terakhir, ia menyatakan ingin
membicarakan soal integrasi.
Namun, Aboutaleb tak menjelaskan bagaimana cara memulainya. Untuk
menjalankan langkahnya itu, ia harus mampu memberikan arahan yang
benar pada para pemeluk agama yang berbeda di Rotterdam dan semua
pemangku kepentingan di sana, termasuk aktivis atau birokrat.
''Langkah itu memang cukup berisiko baginya. Sebab, jika dia gagal,
tak akan ada seorang pun yang akan membelanya,' ' kata Rinus van
Schendelen, seorang profesor ilmu politik dari Erasmus University,
Rotterdam, seperti dikutip Los Angeles Times, belum lama ini.
Sebagai wali kota, kata Schendelen, Aboutaleb harus mampu mengambil
langkah dengan tepat. Ia harus mampu menghadapi kelompok masyarakat
yang selama ini meyakini konsep masyarakat liberal dan sekuler dan
kelompok imigran yang Muslim dan sering dijadikan kambing hitam.
Apalagi, ada komentar tak sedap yang dilontarkan oleh politikus garis
keras di Belanda, Geert Wilder. Ia mengatakan, terpilihnya Aboutaleb
menjadi wali kota merupakan hal yang tak bisa diterima. Ini, kata dia,
seperti memilih seorang Belanda menjadi wali kota Makkah.
Di sisi lain, Muslim merasakan kegembiraan membuncah atas terpilihnya
Aboutaleb sebagai wali kota. ''Saya benar-benar bahagia dia menjadi
wali kota. Seorang wali kota harus mampu menyatukan masyarakatnya. Ia
pasti bisa,'' kata seorang ahli farmasi, Jilani Sayed. fer/itz
Jumat, 09 Oktober 2009 pukul 14:36:00
ROTTERDAM--Seorang perempuan berjilbab menggandeng tangan
anak-anaknya. Ia berlalu melewati sebuah toko minuman keras. Ia
melenggang, mengabaikan deretan botol minuman keras yang terlihat
dalam toko. Kakinya, ia langkahkan ke toko daging Muslim, di sebelah
toko minuman itu.
Di seberang jalan, seorang laki-laki muncul dari sebuah toko alat
bantu seks dengan barang-barang yang dibelinya. Ia melangkahkan
kakinya dengan cepat, tanpa menoleh ke sebuah restoran kebab Turki
yang baru saja dibuka untuk makan siang.
Pemandangan itu terlihat di salah satu kota di Belanda, Rotterdam.
Orang konservatif dan liberal, religius dan sekuler, serta orang
Belanda dan asing, semuanya ada di sana. Perbedaan ini harus mampu
dikelola dan terkadang juga menjadi potensi konflik.
Keberagaman semacam itulah yang dihadapi Ahmed Aboutaleb, Wali Kota
Rotterdam, Belanda. Awal tahun lalu, ia yang seorang Muslim kelahiran
Maroko dipercaya memimpin kota itu. Tentu, ia pun dituntut mampu
menjembatani perbedaan budaya dan keyakinan masyarakatnya itu.
Aboutaleb baru sembilan bulan tinggal di Rotterdam. Ia menjadi Muslim
imigran pertama yang memimpin sebuah kota besar di Belanda, seperti
Rotterdam. Seperti diketahui, Rotterdam merupakan kota terbesar kedua
yang ada di Belanda.
Keberhasilan anak seorang imam ini menjadi sebuah kisah klasik
keberhasilan seorang imigran. Aboutaleb memang harus merangkak dari
bawah hingga menduduki jabatan seperti sekarang ini. Saat remaja, ia
tiba di Belanda.
Aboutaleb bekerja keras dan sedikit demi sedikit menaiki tangga
sosialnya. Mulanya, ia menjadi seorang jurnalis. Namun kemudian, ia
mengubah haluan hidupnya, menjadi seorang politikus. Ia bergabung
dengan Partai Buruh di Amsterdam.
Penominasian Aboutaleb, sebagai wali kota Rotterdam oleh pimpinan
partainya, yang dianggap oleh sebagian orang hanya posisi seremonial,
telah membuat sejumlah pengamat merasa terkejut. Apalagi, ia yang
seorang imigran Muslim akhirnya menjadi seorang wali kota.
Apalagi, Rotterdam merupakan sebuah kota di mana imigrasi dan
integrasi menjadi sebuah persoalan. Banyak kalangan menyorot soal
imigran Muslim, yang tak jarang dianggap memicu gesekan dengan warga
masyarakat lainnya.
Pada 2002, misalnya, Pim Fortuyn, seorang populis dan politikus yang
mengecam Islam dan menganggapnya sebagai agama terbelakang, tewas
ditembak oleh seorang berkulit putih yang mengklaim melakukannya untuk
mendukung komunitas Muslim.
Aboutaleb juga dihadapkan pada kemungkinan munculnya gesekan semacam
itu. Ia harus mampu melayani semua orang, tak hanya Muslim yang
tinggal di sana. Di sisi lain, komunitas Muslim tentu berharap ia
mampu memberikan perlindungan bagi mereka.
Aboutaleb harus mampu mengatasi dan menghadapi segala masalah terkait
dengan keberagaman masyarakat selama enam tahun menjabat sebagai wali
kota. Dalam kurun beberapa pekan terakhir, ia menyatakan ingin
membicarakan soal integrasi.
Namun, Aboutaleb tak menjelaskan bagaimana cara memulainya. Untuk
menjalankan langkahnya itu, ia harus mampu memberikan arahan yang
benar pada para pemeluk agama yang berbeda di Rotterdam dan semua
pemangku kepentingan di sana, termasuk aktivis atau birokrat.
''Langkah itu memang cukup berisiko baginya. Sebab, jika dia gagal,
tak akan ada seorang pun yang akan membelanya,' ' kata Rinus van
Schendelen, seorang profesor ilmu politik dari Erasmus University,
Rotterdam, seperti dikutip Los Angeles Times, belum lama ini.
Sebagai wali kota, kata Schendelen, Aboutaleb harus mampu mengambil
langkah dengan tepat. Ia harus mampu menghadapi kelompok masyarakat
yang selama ini meyakini konsep masyarakat liberal dan sekuler dan
kelompok imigran yang Muslim dan sering dijadikan kambing hitam.
Apalagi, ada komentar tak sedap yang dilontarkan oleh politikus garis
keras di Belanda, Geert Wilder. Ia mengatakan, terpilihnya Aboutaleb
menjadi wali kota merupakan hal yang tak bisa diterima. Ini, kata dia,
seperti memilih seorang Belanda menjadi wali kota Makkah.
Di sisi lain, Muslim merasakan kegembiraan membuncah atas terpilihnya
Aboutaleb sebagai wali kota. ''Saya benar-benar bahagia dia menjadi
wali kota. Seorang wali kota harus mampu menyatukan masyarakatnya. Ia
pasti bisa,'' kata seorang ahli farmasi, Jilani Sayed. fer/itz
0 komentar:
Posting Komentar
Komentar dipersilahkan